Pages

Monday 6 April 2015

Makalah Al-Hakim (Pembuat Hukum)

AL-HAKIM
)PEMBUAT HUKUM)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Dr. H. Saefudin Zuhri
Kelas: PAI 1C


                           Oleh:
                             1.    Lutfi Ardiana Sari          (123111096)
                                       2.    Muhammad Abduh K         (123111098)    



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
 2015




I.                   PENDAHLUAN
      Sebagaimana telah diterangkan tentang makna hukum dan beberapa bagiannya yang merupakan pokok pembahasan dalam ilmu Fiqh, berikut ini pembahasan beralih pada sumber hukum, yakni al-Hakim (pembuat hukum).
      Pengertian tentang hukum yang telah disebutkan terdahulu mengisyaratkan pada al-Hakim (pembuat hukum), karena terminologi hukum menurut ulama Ushul adalah firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Definisi ini secara pasti menunjukkan bahwa al-Hakim dalam fiqh Islam adalah Allah SWT. Sebab pada dasarnya syari’at itu merupakan undang- undang keagamaan yang bertolak dari wahyu samawi. Dengan demikian jelas bahwa al-Hakim di sini adalah Allah SWT. Sedang semua sistem ta’rif tentang hukum- hukum di dalamnya tidak lain merupakan metode (manhaj) untuk mengenal hukum Allah dan peraturan- peraturan agama-Nya yang bersifat samawi.[1]

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian al-Hakim?
2.      Bagaimana pendapat beberapa golongan mengenai tahsin ‘aqliy dan taqbih ‘aqliy?
3.      Apa fungsi akal dalam penetapan hukum?

III.             PEMBAHASAN
1.      Pengertian Al-Hakim
            Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:
وا ضع الاحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.

الذي يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.

Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah.[2]
Para ulama berprinsip:
ان الحكم الالله
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (QS. Al-An’am [6]: 57).

Berdasarkan pernyataan di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara’ ialah
حطا ب الله المتعلق بافعال المكلفين طلبا او تخيرا او وضعا
Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan atau boleh pilih atau penetapan sesuatu sebagai syarat, sebab atau mani’.

Pernyataan di atas didasarkan firman Allah SWT:
إن الحكم إلالله يقص الحق وهو خير الفصلين
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik. (QS. Al-An’am [6]: 57)

            Adapun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum Rasul diutus. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum Rasul diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.[3]
      Golongan Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum datangnya     syara’, maka tidak diberi sesuatu hukum perbuatan- perbuatan        mukallaf. Titik persoalan antara golongan Mu’tazilah dan Al-      Asy’ariyah  adalah  tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat    adanya pahala dan siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun      syara’ belum menerangkannya, sedangkan golonngan jumhur       ulama berpendapat bahwa tidak disiksa atau tidak diberi pahala       manusia sebelum datangnya syara’, kecuali akal bisa mengetahui         baik buruknya sesuatu perbutan.[4]
      Adapun dalil yang digunakan jumhur ulama adalah firman Allah     SWT:
وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا
      Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang             Rasul. (QS. Al-Isra’ [17]: 15)

      Adapun dalil yang digunakan golongan Mu’tazilah adalah firman    Allah SWT:
قل لايستوى الخبيث والطيب
      Katakanlah (Muhammad), tidaklah sama yang buruk dengan yang baik. (QS. Al-Ma’idah [5]: 100)


2.      Tahsin ‘Aqly wa Taqbih ‘Aqly (Baik dan Buruk menurut Akal)
Ada perbedaan pendapat tentang tahsin ‘aqly wa taqbih ‘aqliy:[5]
a.       Golongan Mu’tazilah
Menurut pendapat kaum Mu’tazilah, bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian:
1)      Sesuatu yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak (wajib) memerintahkannya.
2)      Sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak memerintahkannya.
3)      Sesuatu yang ada di antara baik dan buruk. Bagian ini boleh (jaiz) diperintahkan dan boleh dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya adalah karena perintah (lil-amr), dan  jika dilarang maka keburukannya adalah karena larangan (lin-nahy).
Demikian ketetapan madzhab Mu’tazilah yang mendasari adanya hukum wajib atassesuatu yang baik dan yang buruk menurut dzatnya. Sesuatu yang wajib menurut dzatnya (esensinya) dengan sendirinya mewajibkan seseorang untuk mengerjakannya, meskipun dia tidak mengetahui hukum syara’. Demikian pula sesuatu yang buruk menurut dzatnya, menuntut seseorang untuk menjauhinya walaupun dia sendiri tidak mengetahui larangan dari syara’. Dan pendapat mereka ini didasarkan atas tiga alasan:[6]
1)      Ada perbuatan dan perkataan yang harus dilakukan oleh orang berakal, di mana keadaan si pelaku tidak dicela bahkan mendapat pujian. Hal itu disebut perbuatan yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih). Di sisi lain ada juga perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang berakal, bisa karena akal yang menuntut untuk tidak melakukannya, atau karena memang perbuatan itu sendiri menimbulkan celaan orang. Hal itu disebut perbuatan yang buruk karena dzatnya (qabih li dzatih).
2)      Baik dan buruk itu adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan mengetahui keduanya merupakan suatu kepastian. Oleh karena itu, seseorang dengan kekuatan akalnya pasti mengetahui bahwa dzalim itu buruk, adil itu baik, dan bahwa bohong itu buruk meskipun menguntungkan, dan jujur itu baik meskipun terkadang merugikan.
3)      Kalaulah ada hal yang yang secara esensial tidak mengandung sifat baik dan buruk yang masing- masing harus dikerjakan dan ditinggalkan tentu hal itu mengakibatkan bolehnya terjadi mu’jizat pada seorang pendusta, sehingga tidak akan dapat dibedakan antara seorang nabi dengan seorang pendusta.
Dari pandangan dan alasan- alasan madzhab Mu’tazilah, akhirnya menimbulkan tiga konsekuensi logis sebagai berikut:[7]
a.       Bahwa ahli fatrah (manusia pada zaman antara dua nabi) serta orang yang belum dijangkau oleh atau belum mengetahui aturan syara’ berarti dituntut untuk melakukan sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih) dan sekaligus dituntut agar meninggalkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya (qabih li dzatih). Oleh karena tidak halal bagi mereka berbuat dusta. Sebaliknya, wajib bagi mereka untuk bersikap adil, dan mereka pun akan dikenakan sanksi (hukuman/ siksaan) bila berlaku dzalim dan akan diberi imbalan pahala bila bersikakp adil.
b.      Apabila tidak ada nash maka seseorang (umat manusia) dengan petunjuk akalnya dituntut untuk melakukan sesuatu, baik yang berupa hasan dzaty maupun qabih dzaty. Dan yang demikian itu kelak akan diperhitungkan.
c.       Bahwa Allah SWT sungguh tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya (qabih dzatnya) dan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan dzatnya).
b.      Golongan Maturidiyah
      Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula oleh ulama Hanafiah.
      Dalam ketentuan ini kaum Maturidiyah dan Hanafiah sependapat dengan kaum Mu’tazilah, tetapi setelah itu terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Kaum Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan siksa itu berdasar dari ketentuan nash. Oleh karena itu akal an-sich tidak dapat menentukan hukum- hukum di luar daerah nash, bahkan ia mesti merujuk kepada nash atau mengacu kepadanya, baik dengan jalan qiyas atau dengan pertimbangan kemaslahatan (al-Istihsan). Semua ini menunjukkan bahwa akal secara keseluruhan pasti merujuk kepada nash. Dengan demikian akal an-sich tidak mempunnyai kemampuan atau kekuatan taklif dan penetapan hukum, tetapi ia tentu memerlukan bantuan syara’.[8]
      Sementara itu asy-Syaukani dalam Irsyadul-Fuhul menjernihkan pendapat ulama Maturidiyah, dengan mengatakan: “Bahwa pembahasan dalam hal ini cukup panjang (luas).  Adapun mengingkari kemampuan akal dapat menilai suatu perbuatan itu tergolong baik atau buruk, adalah suatu kesombongan dan kebohongan. Sedang orang yang mengakui kemampuan akal yang menilai bahwa perbuatan yang baik itu mendapatkan pahala dan perbuatan yang buruk itu mendapatkan siksa dia bukanlah seorang muslim. Kemampuan final yang dimiliki oleh akal hanya terbatas menilai bahwa yang baik itu akan mendatangkan pujian bagi perbuatan orang yang melakukannya, dan sebaliknya bahwa perbuatan yang buruk itu akan mendatangkan cercaan bagi pelakunya. Jadi tidak sampai pada kesimpulan bahwa perbuatan- perbuatan itu ada hubungannya dengan keharusan memperoleh pahala dan siksa.” (Irsyadul Fuhul, hal. 8)
c.       Golongan Asy’ariyah
      Pendapat golongan Asy-‘ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara esensial) tidak ada yang baik maupun   yang  buruk. Semuanya mutlak tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allah dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatu pun yang membatasi kehendak-Nya. Dia adalah Pencipta sesuatu dan Dia pula yang menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu segala yang Dia perintahkan itulah yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah larangan Syari’ (Allah) semata. Tiada pahala dan siksa melainkan dikaitkan dengan kepatuhan atau pelanggaran aturan Syari’. Dan tak ada perhitungan karena perintah akal, tetapi semua yang diperhitungkan hanyalah berupa perintah dan larangan Syari’ yang Maha Bijaksana.
      Pendapat kaum Asy’ariyah ini berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah dan Maturidiyah. Mereka menetapkan bahwa sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang baik menurut dzatnya atau yang buruk menurut dzatnya, dan juga tak ada taklif (pembebanan hukum) kecuali dari Syari’ (Allah) semata.[9]
      Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak dapat memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan dzaty serta yang qabih dzaty.

3.      Fungsi Akal Dalam Penetapan Hukum
            Akal sangat besar peranannya sebagai alat untuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir, dan jika sampai ke suatu daerah (masalah) yang berada di luar jangkauan kemampuan akal maka wahyu membantu memberi tahukannya kepada akal.[10]
Hal yang harus diperhatikan mengenai fungsi akal dalam penetapan hukum, yaitu:[11]
1)      Bila telah ditetapkan, bahwa akal menurut Jumhur Fuqaha tidak punya wewenang mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan- pembebanan huhkum (at-taklifat), tidaklah berarti bahwa akal tidak ada fungsinya. Bahkan akal sangat berfungsi, hanya saja batas kemampuan fungsionalnya sesuai dengan yang diberikan oleh Allah SWT.
Sementara itu harus dicarikan pula hukum- hukum Allah pada setiap kasus baru yang keterangan hukumnya tidak ada dalam nash yang jelas (sharih). Maka pada saat itulah akal dapat difungsikan untuk menggali nash- nash syara’, dan untuk menjelaskan kaidah- kaidah umum syar’i yang dapat menjadi pedoman dalam menganalogikan dan menerapkan prinsip hukum terhadap kasus- kasus baru yang dijumpai.
2)      Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa sumber- sumber hukum itu Mazhab as-Shahaby, al-Istihsan, al-Mashlahah waz-Dzara’i,  dan seterusnya semuanya merujuk kepada satu sumber hukum yaitu nash- nash Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu Syafi’i dengan tegas menyatakan: “Hukum tidak digali melainkan dari nash atau yang terkandung dalam nash.”
Atas dasar itulah dapat ditetapkan bahwa semua sumber hukum itu merujuk kepada nash. Bahkan di antara para penyusun Ushul Fiqh ada yang mengembalikan semua sumber- sumber hukum itu kepada Al-Qur’an, dan semua sumber ini dianggap bermuara dam kembali kepadanya. Adapun Sunnah merupakan keterangan Al-Qur’an dan sebagai penjelas terhadap kemujmalannya.

IV.            KESIMPULAN
     Al-Hakim ialah pembuat serta yang menetapkan hukum. Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah.
      Pendapat beberapa golongan mangenai tahsin ‘aqly wa taqbih ‘aqly:
a.       Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan manusia selalu diwarnai baik atau buruk, bermanfaat atau mudarat. Apabila seseorang mengerjakan kebaikan atau kejahatan (menurut pertimbangan akalnya) tentu akan diberi ganjaran pahala atau dosa.
b.      Golongan Maturdiyah , tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan siksa itu berdasar dari ketentuan nash.
c.       Golongan As’ariyah, al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak dapat memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan dzaty serta yang qabih dzaty.
Fungsi akal dalam penetapan hukum: Akal sangat besar peranannya sebagai alat untuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir.

V.               PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Dan semoga apa yang telah kita diskusikan menambah rasa syukur serta menambah iman kita kepada Allah SWT. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah ini dan makalah- makalah kami selanjutnya.
Terima kasih,

DAFTAR PUSTAKA

Zah Zah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Daly, Peunoh. 1987. Filsafat Hukum Islam. Jakarta.





[1] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 87
[2] Totok Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76
[3] Totok Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76
[4] Ibid, hlm. 77
[5] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 89
[6] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 90

[7] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 91
[8] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 92
[9] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 93
[10] Peunoh  Daly, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: 1987), hlm. 106
[11] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 94

Sunday 5 April 2015

Makalah Peran Utsman Bin Affan Dalam Menumbuhkan Peradaban Dan Kebudayaan Islam

PERAN UTSMAN BIN AFFAN DALAM MENUMBUHKAN PERADABAN DAN KEBUDAYAAN ISLAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Drs. Mat Solikin, M. Ag
                                                                                        
Oleh:
1.   Lutfi Ardiana Sari                 (123111096)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2014/2015






PERAN UTSMAN BIN AFFAN DALAM MENUMBUHKAN PERADABAN DAN KEBUDAYAAN ISLAM

I.                   PENDAHULUAN
            Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf dari suku Quraisy. Lahir pada tahun 576 M, enam tahun setelah penyerangan Kabah oleh pasukan bergajah atau enam tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Ibu Khalifah Utsman bin Affan adalah Urwy bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin Abdi Asy-Syam bin Abd Al-Manaf. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar. Ia mendapat julukan dzun nurain, karena menikahi dua putri Rasulullah SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kulsum.[1]
            Khalifah Utsman bin Affan ikut berhijrah bersama isterinya ke Abesinia dan termasuk muhajir pertama ke Yastrib. Ia termasuk orang yang shaleh ritual dan sosial. Ia sangat gemar membaca Al-Qur’an, sehingga Khalid Muh Khalid menulis bahwa untuk shalat dua rakaat saja, Utsman menghabiskan waktu semalaman karena banyaknya ayat Al-Qur’an yang dibaca, dan pada saat Khalifah Utsman wafat, Al-Qur’an berada di pangkuannya. Kesalehan sosialnya terbukti dan membeli telaga milik Yahudi seharga 12.000 dirham dan menghibahkannya kepada kaum muslimin pada saat hijrah ke Yastrib. Mewakafkan tanah seharga 15.000 dinar untuk perluasan Masjid Nabawi. Menyerahkan 940 ekor unta, 60 ekor kuda, 10.000 dinar untuk keperluan lasykar. Pada peristiwa- peristiwa sebelum itupun Utsman banyak sekali mendermakan hartanya untuk kepentingan umat Islam.[2]
            Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung. Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah. Setelah melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang Syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan  kepada Utsman bin Affan. Di sini masa pemerintahan Utsman bin Affan termasuk yang paling lama apabila dibandingkan dengan khalifah lainnya, yaitu selama 12 tahun (24-36 H/ 644-656 M), Umar 10 tahun (13-23 H/ 634-644 M), Abu Bakar 2 tahun (11-13 H/ 632-634 M), dan Ali 5 tahun (36-41 H/ 656-661).[3]

II.                RUMUSAN MASALAH
Dari uraian pendahuluan di atas, berikut adalah rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
A.    Apa visi dan misi khalifah Utsman bin Affan dalam menjalankan kekhalifahannya?
B.     Apa saja ekspansi- ekspansi yang dilakukan Utsman bin Affan?
C.     Bagaimana peran Utsman bin Affan dalam menumbuhkan peradaban dan kebudayaan Islam?
D.    Bagaimana peristiwa meninggalnya Utsman bin Affan?


III.             PEMBAHASAN
A.    Visi dan Misi Khalifah Utsman bin Affan
            Mengetahui visi dan misi khalifah Utsman bin Affan dalam menjalankan kekhalifahannya, dapat dilihat dari isi pidato setelah Utsman bin Affan dilantik atau dibai’at menjadi khalifah ketiga negara Madinah, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatan sebagai berikut:
“Sesungguhnya kamu sekalian berada di negeri yang tidak kekal dan dalam pemerintahan yang selalu berganti. Maka bersegeralah kamu berbuat baik menurut kemampuan kamu untuk menyongsong waktu akhir kamu. Maka sampailah waktunya untuk saya berkhidmat kepada kamu setiap saat. Ingatlah sesungguhnya dunia ini diliputi kepalsuan maka janganlah kamu permainkan kehidupan dunia dan janganlah kepalsuan mempermainkan kamu terhadap Allah. Beriktibarlah kamu dengan orang yanng telah lalu, kemudian bersungguh- sungguhlah dan jangan melupakannya, karena sesungguhnya masa itu tidak akan melupakan kamu. Di manakah di dunia ini terdapat pemerintahan yang bertahan lama? Jauhkanlah dunia sebagaimana Allah memerintahkannya, tuntutlah akhirat sesungguhnya Allah telah memberikannya tempat yang lebih baik bagi kamu. Allah berfirman, “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh- tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh- tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Kahfi/18: 45).”[4]
            Bagian lain dari isi pidato pelantikannya sebagaimana dikutip oleh Al- Maududi dan Ath-Thabari juga dikutip oleh Suyuthi Pulungan,
“Sesungguhnya tugas ini telah telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerimanya dan sesungguhnya aku adalah seorang muttabi’ (pengikut Sunnah Rasul) dan bukan mubtadi’ (oarng yang berbuat bid’ah). Ketauhilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal, selain kitab Allah dan Sunnah Nabi, yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang- orang  sebelumku dalam hal- hal yang kamu sekalian telah bersepakat dan talah kamu jadikan sebagai kebiasaan, membuat kebiasaan yang layak bagi ahli kebajikan dalam hal- hal yang belum kamu jadikan kebiasaan dan mencegah diriku bertindak atas kamu, kecuali dalam hal- hal yang kamu sendiri menyebabkannya.”[5]

            Pidato di atas menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik. Dalam pidato ini, Utsman mengingatkan beberapa hal penting:
1)      Agar umat Islam selalu berbuat baik sesuai kemampuan sebagai bekal menghadapi hari kematian dan akhirat sebagai tempat yang lebih baik yang disediakan oleh Allah.
2)      Agar umat Islam jangan terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan sehingga membuat mereka lupa kepada Allah.
3)      Agar umat Islam mamu mengambil iktibar pelajaran dari masa lalu, mengambil yang baik dan menjauhi yang buruk.
4)      Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
5)      Di samping ia akan meneruskan apa yang telah dilakukan peendahulunya, juga akan membuat hal- hal baru yang membawa pada kebajikan.
6)      Umat Islam boleh mengkritiknya bila ia menyimpang dari ketentuan hukum.

            Roda pemerintahan Utsman pada dasarnya tidak berbeda dari pendahulunya. Dalam pidato pembai’atannya ia tegaskan akan menerusakn kebiasaan yang dibuat pendahulunya. Pemegang kekuasaan tertinggi berada ditangan khalifah (pemegang dan pelaksana kekuasaan eksekutif). Pelaksanaan tugas eksekutif dibantu oleh sekretaris negara yang dijabat oleh Marwan bin Hakam, anak paman khalifah. Selain sekretaris negara Khalifah Utsman juga dibantu oleh pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan atau baitul mal, seperti pada pemerintahan Umar.[6]
            Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, Khalifah Utsman memercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi. Pada masanya, wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi sepuluh provinsi:
1.      Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’i, Amir wilayah Mekah
2.      Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, amir wilayah Thaif
3.      Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd Manaf, Amir wilayah Shan’a
4.      Abdullah bi Abi Rabiah, Amir wilayah Al-Janad
5.      Utsman bin Abi Al-Ash Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain
6.      Al-Mughirah bin Syu’bah Ats-Tsaqafi, Amir wilayah Kufah
7.      Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari, Amir wilayah Bashrah
8.      Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus
9.      Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh
10.  Amr bin Al-Ash As-Sahami, Amir wilayah Mesir
            Adapun kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan ataupun Majelis Syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi. Majelis ini memberikan saran, usul, dan nasihat kepada khalifah tentang berbagai masalah penting yang dihadapi negara. Akan tetapi, pengambil keputusan terakhir berada di tangan khalifah.

B.     Ekspansi- Ekspansi yang Dilakukan Utsman bin Affan
a.       Perluasan Islam di Masa Utsman
      Perluasan Islam di masa Utsman dapat disimpulkan pada dua bidang:[7]
1.      Menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk ke bawah kekuasaan Islam di zaman Umar.
            Setelah Umar berpulang kerahmatullah ada daerah- daerah yang mendurhaka kepada pemerintah Islam. Pendurhakaan itu ditimbulkan oleh pendukung- pendukung pemerintahan yang lama atau dengan perkataan lain ada sementara pamong praja dari pemerintahan lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke bawah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya.
Daerah- daerah yang mendurhaka itu terutama ialah Khurasan dan Iskandariah.[8]
            Pemberontakan di Khurasan dicetuskan oleh pendukung- pendukung pemerintahan yang lama. Adapun pendukung kota Iskandariah, telah diserang kembali oleh bangsa Romawi. Dikirimnya ke sana tentara yang besar, di bawah pimpinan seorang panglima Armenia, bernama Manuel.[9]
            Pemberontakan- pemberontakan ini dapat ditumpas oleh Utsman. Utsman mengirim ke Khurasan dan ke Iskandariah tentara yang besar jumlahnya dengan perlengkapan yang cukup. Balatentara ini dapat menghancurkan kaum pemberontak, serta dapat mengembalikan keamanan dan ketentraman dalam daerah tersebut.
2.      Perluasan Islam
            Perluasan Islam boleh dikatakan meliputi semua daerah yang telah dicapai balatentara Islam di masa Umar. Perluasan ini di masa Utsman telah bertambah dengan perluasan ke laut.
            Di masa Utsman, negeri- negeri: Barqah, Tripoli Barat, dan sebagian selatan negeri Nubah telah masuk dalam wilayah Negara Islam. Kemudian negeri- negeri Armenia dan beberapa Thabaristan, bahkan kemajuan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria). Jadi daerah- daerah di negeri seberang sungai Jihun telah masuk wilayah Negara Islam. Negeri- negeri Balkh Harah, Kabul dan Ghaznah di Turkistan telah diduduki kaum Muslimin.[10]
            Dengan mempergunakan angkatan laut yang dipimpin oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan tahun 28 H, pulau Cyprus dapat pula dimasukkan ke dalam wilayah Islam.
            Salah satu pertempuran yang terpenting di laut ialah pertempuran “Dzatis Sawari” yang berarti tiang kapal, karena dalam pertempuran tersebut menggunakan banyak  kapal. Pertempuran ini terjadi pada tahun 31 H di Laut Tengah dekat kota Iskandariah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Constatnine dengan balatentara Islam di bawah pimpinan Abdullah ibnu Abi Sarah, yang jadi gubernur di Mesir.[11]

C.     Peran Utsman bin Affan Dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Beberapa peran Utsman bin Affan dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Bidang Perekonomian
      Dari segi ekonomi, yaitu tentang pelaksanaan baitul maal, Ustman hanya melanjutkan pelaksanaan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Namun, pada masa Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi karena terlalu banyak mengambil uang dari baitul maal untuk diberikan kepada kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan dari pemberian uang tersebut karena Utsman ingin menjaga tali silaturahim. Selain itu, disamping dari segi baitul maal, Utsman juga meningkatkan pertanian.Ia memerintahkan untuk menggunakan lahan-lahan yang tak terpakai sebagai lahan pertanian.
      Dari segi pajak, Utsman sama seperti dari segi baitul maal, melanjutkan perpajakan yang telah ada pada masa Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman pemberlakuan pajak tidak berjalan baik sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa Utsman, demi memperlancar ekonomi dalam hal perdagangan, ia banyak melakukan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.[12]
2.       Sosial Budaya dan Pendidikan
      Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam. Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan dilakukan di masjid. Utsman juga melakukan penyeragaman bacaan Al Qur’an juga perluasan Masjid Haram dan Masjid Nabawi.[13]
      Penyeragaman bacaan dilakukan karena pada masa Rasulullah SAW, Beliau memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan menghafalkan Al Qur’an menurut lahjah (dialek)  masing-masing. Seiring bertambahnya wilayah Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam, pembacaan pun menjadi semakin bervariasi. Akhirnya sahabat Huzaifah bin  Yaman mengusulkan kepada Utsman untuk menyeragamkan bacaan. Utsman pun lalu membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin mushaf yang disimpan oleh Hafsah dan menyeragamkan bacaan Qur’an. Dan itulah karya monumental yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah pembukuan mushaf Al-Qur’an.[14] Perluasan Masjid Haram dan Masjid Nabawi sendiri juga dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang melaksanakan haji setiap tahunnya.

D.   Peristiwa Meninggalnya Utsman bin Affan
            Rasa tidak puas terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan semakin besar dan menyeluruh. Di Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Talhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang gubernur yang diangkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih keras terjadi di Mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin Sa’ad, saudara angkat khalifah, sebagai pengganti gubernur ‘Amr bin Ash juga karena konflik pembagian ghanimah.
            Para pemberontak menuju Madinah. Tetapi ketika di tengah jalan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir, dan surat itu dibubuhi cap Khalifah Utsman. 
Akhirnya mereka mengepung rumah khalifah. Tokoh- tokoh yang terlibat dalam pengepungan dan peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman itu ialah Muhammad ibn Abu Bakar, Imar ibn Yasir, Thulhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam.[15]
            Dan sejarah mencatat bahwa Al Ghafiki pada peristiwa itu memukul Khalifah Utsman dengan sebilah besi hingga kepalanya koyak dan darah mengalir. Sewaktu Sudan ibn Hamran untuk menebas leher Khalifah Utsman dengan pedangnya maka Nailat, isteri Khalifah segera merahap ke atas tubuh suaminya dan menangkis pedang itu hingga jari- jarinya terputus.
Pada subuh hari itu Khalifah Utsman menghembuskan nafasnya sambil memeluk Al Mushaf (Al-Qur’an) yang tengah dibacanya, yaitu hari Jumat 8 Zulhijjah tahun 35 H/ 656 M pada usianya 82 tahun. [16]


IV.            KESIMPULAN
     Utsman bin Affan lahir pada tahun 576 M. Masa kekuasaanya sebagai khalifah selama 12 tahun (644-656 M).
      Visi dan misi khalifah Utsman diantaranya yaitu, Utsman mengajak umat Islam untuk selalu berbuat baik sesuai dengan kemampuannya sebagai bekal menghadapi hari kematian dan akhirat sebagai tempat yang lebih yang disediakan oleh Allah. Dan mengingatkan untuk tidak terpedaya kemewahan hidup dunia yang membuat mereka lupa kepada Allah.
      Ekspansi yang dilakukan Utsman yaitu menumpas pendurhakaan dan pemberontakan di Khuraisan dan Iskandariah. Serta perluasan daerah Islam.
Utsman dikenal sebagai khalifah kekuatan faksi ekonomi, Ia banyak melakukan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan, masjid, jembatan, dll.
      Adapun karya besar monumental khalifah Utsman ialah membukukan mushaf Al-Qur’an .
      Khalifah Utsman bin Affan wafat pada hari Jumat 8 Zulhijjah 35H/ 656 M pada usianya yang ke- 82 tahun.


V.               PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Dan semoga apa yang telah kita diskusikan menambah rasa syukur serta menambah iman kita kepada Allah SWT. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah ini dan makalah- makalah kami selanjutnya.
Terima kasih.           





DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar.
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sou’yb, Joesoef. 1979. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang.
Syalabi, A. 1994. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid-1. Jakarta: Pustaka             Alhusna.
http://ruruls4y.wordpress.edu.my/2012/04/30/khalifah-utsman-bin-affan.





                [1]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 87
                [2]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,. . .,  hlm. 88
                [3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, . . ., hlm. 88
                [4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, .  . ., hlm. 89
                [5]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, . . , hlm. 90
                [6] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, . . ,  hlm. 91
                [7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid-1, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1994), hlm. 270
                [8] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat  Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 334
                [9] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat  Khulafaur Rasyidin,. . ,  hlm. 335
                [10] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid-1, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1994), hlm. 271
                [11] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam Sejak  Zaman Nabi Adam Hingga abad XX, (Jakarta: Akbar, 2003) hlm. 167
                [12] http://ruruls4y.wordpress.edu.my/2012/04/30/khalifah-utsman-bin-affan.
                [13] http://ruruls4y.wordpress.edu.my/2012/04/30/khalifah-utsman-bin-affan.
                [14] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 105
                [15]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 108
                [16] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat  Khulafaur Rasyidin, . . , hlm. 454
Designed by Nayla Sejattie | Kumpulan Makalah