AL-HAKIM
)PEMBUAT
HUKUM)
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu: Dr. H. Saefudin Zuhri
Kelas:
PAI 1C
Oleh:
1. Lutfi
Ardiana Sari (123111096)
2. Muhammad
Abduh K (123111098)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
2015
I.
PENDAHLUAN
Sebagaimana telah
diterangkan tentang makna hukum dan beberapa bagiannya yang merupakan pokok
pembahasan dalam ilmu Fiqh, berikut ini pembahasan beralih pada sumber hukum,
yakni al-Hakim (pembuat hukum).
Pengertian tentang hukum yang telah disebutkan terdahulu
mengisyaratkan pada al-Hakim (pembuat hukum), karena terminologi hukum menurut
ulama Ushul adalah firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Definisi
ini secara pasti menunjukkan bahwa al-Hakim dalam fiqh Islam adalah Allah SWT.
Sebab pada dasarnya syari’at itu merupakan undang- undang keagamaan yang
bertolak dari wahyu samawi. Dengan demikian jelas bahwa al-Hakim di sini adalah
Allah SWT. Sedang semua sistem ta’rif tentang hukum- hukum di dalamnya tidak
lain merupakan metode (manhaj) untuk mengenal hukum Allah dan peraturan-
peraturan agama-Nya yang bersifat samawi.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian al-Hakim?
2. Bagaimana
pendapat beberapa golongan mengenai tahsin ‘aqliy dan taqbih ‘aqliy?
3. Apa
fungsi akal dalam penetapan hukum?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al-Hakim
Hakim
secara etimologi, mempunyai dua pengertian:
وا
ضع الاحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang
memunculkan dan sumber hukum.
الذي
يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
Adapun yang menetapkan
hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul,
baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah.[2]
Para ulama berprinsip:
ان
الحكم الالله
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik
Allah (QS. Al-An’am [6]: 57).
Berdasarkan pernyataan
di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara’ ialah
حطا
ب الله المتعلق بافعال المكلفين طلبا او تخيرا او وضعا
Firman Allah yang berhubungan dengan
perbuatan para mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan atau boleh pilih atau
penetapan sesuatu sebagai syarat, sebab atau mani’.
Pernyataan di atas
didasarkan firman Allah SWT:
إن
الحكم إلالله يقص الحق وهو خير الفصلين
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik
Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik. (QS.
Al-An’am [6]: 57)
Adapun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang
menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum Rasul diutus. Golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum Rasul diutus, akal manusia itulah yang
menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu
perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.[3]
Golongan Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum datangnya syara’, maka tidak diberi sesuatu hukum
perbuatan- perbuatan mukallaf.
Titik persoalan antara golongan Mu’tazilah dan Al- Asy’ariyah adalah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala dan siksa, tergantung pada
perbuatan, walaupun syara’ belum
menerangkannya, sedangkan golonngan jumhur ulama
berpendapat bahwa tidak disiksa atau tidak diberi pahala manusia sebelum datangnya syara’, kecuali
akal bisa mengetahui baik buruknya
sesuatu perbutan.[4]
Adapun dalil yang digunakan jumhur ulama adalah firman Allah SWT:
وما
كنا معذبين حتى نبعث رسولا
Tetapi
Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul. (QS. Al-Isra’ [17]: 15)
Adapun
dalil yang digunakan golongan Mu’tazilah adalah firman Allah SWT:
قل
لايستوى الخبيث والطيب
Katakanlah (Muhammad), tidaklah sama yang
buruk dengan yang baik. (QS. Al-Ma’idah
[5]: 100)
2. Tahsin
‘Aqly wa Taqbih ‘Aqly (Baik dan Buruk menurut Akal)
Ada perbedaan pendapat tentang
tahsin ‘aqly wa taqbih ‘aqliy:[5]
a. Golongan
Mu’tazilah
Menurut pendapat kaum
Mu’tazilah, bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian:
1) Sesuatu
yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak (wajib) memerintahkannya.
2) Sesuatu
yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak memerintahkannya.
3) Sesuatu
yang ada di antara baik dan buruk. Bagian ini boleh (jaiz) diperintahkan dan
boleh dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya adalah karena
perintah (lil-amr), dan jika dilarang
maka keburukannya adalah karena larangan (lin-nahy).
Demikian ketetapan
madzhab Mu’tazilah yang mendasari adanya hukum wajib atassesuatu yang baik dan
yang buruk menurut dzatnya. Sesuatu yang wajib menurut dzatnya (esensinya)
dengan sendirinya mewajibkan seseorang untuk mengerjakannya, meskipun dia tidak
mengetahui hukum syara’. Demikian pula sesuatu yang buruk menurut dzatnya,
menuntut seseorang untuk menjauhinya walaupun dia sendiri tidak mengetahui
larangan dari syara’. Dan pendapat mereka ini didasarkan atas tiga alasan:[6]
1) Ada
perbuatan dan perkataan yang harus dilakukan oleh orang berakal, di mana
keadaan si pelaku tidak dicela bahkan mendapat pujian. Hal itu disebut
perbuatan yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih). Di sisi lain ada juga
perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang berakal, bisa karena akal yang
menuntut untuk tidak melakukannya, atau karena memang perbuatan itu sendiri
menimbulkan celaan orang. Hal itu disebut perbuatan yang buruk karena dzatnya
(qabih li dzatih).
2) Baik
dan buruk itu adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan mengetahui
keduanya merupakan suatu kepastian. Oleh karena itu, seseorang dengan kekuatan
akalnya pasti mengetahui bahwa dzalim itu buruk, adil itu baik, dan bahwa
bohong itu buruk meskipun menguntungkan, dan jujur itu baik meskipun terkadang
merugikan.
3) Kalaulah
ada hal yang yang secara esensial tidak mengandung sifat baik dan buruk yang
masing- masing harus dikerjakan dan ditinggalkan tentu hal itu mengakibatkan
bolehnya terjadi mu’jizat pada seorang pendusta, sehingga tidak akan dapat
dibedakan antara seorang nabi dengan seorang pendusta.
Dari pandangan dan
alasan- alasan madzhab Mu’tazilah, akhirnya menimbulkan tiga konsekuensi logis
sebagai berikut:[7]
a. Bahwa
ahli fatrah (manusia pada zaman antara dua nabi) serta orang yang belum
dijangkau oleh atau belum mengetahui aturan syara’ berarti dituntut untuk
melakukan sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih) dan sekaligus
dituntut agar meninggalkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya (qabih li dzatih).
Oleh karena tidak halal bagi mereka berbuat dusta. Sebaliknya, wajib bagi
mereka untuk bersikap adil, dan mereka pun akan dikenakan sanksi (hukuman/
siksaan) bila berlaku dzalim dan akan diberi imbalan pahala bila bersikakp
adil.
b. Apabila
tidak ada nash maka seseorang (umat manusia) dengan petunjuk akalnya dituntut
untuk melakukan sesuatu, baik yang berupa hasan dzaty maupun qabih dzaty. Dan
yang demikian itu kelak akan diperhitungkan.
c. Bahwa
Allah SWT sungguh tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk menurut
dzatnya (qabih dzatnya) dan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan
dzatnya).
b. Golongan
Maturidiyah
Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan
dianut pula oleh ulama Hanafiah.
Dalam ketentuan ini kaum Maturidiyah dan Hanafiah sependapat
dengan kaum Mu’tazilah, tetapi setelah itu terjadi perbedaan pendapat di antara
mereka. Kaum Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada taklif (pembebanan) dan
pahala hanya dengan keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif,
pahala dan siksa itu berdasar dari ketentuan nash. Oleh karena itu akal an-sich
tidak dapat menentukan hukum- hukum di luar daerah nash, bahkan ia mesti
merujuk kepada nash atau mengacu kepadanya, baik dengan jalan qiyas atau dengan
pertimbangan kemaslahatan (al-Istihsan). Semua ini menunjukkan bahwa akal
secara keseluruhan pasti merujuk kepada nash. Dengan demikian akal an-sich
tidak mempunnyai kemampuan atau kekuatan taklif dan penetapan hukum, tetapi ia
tentu memerlukan bantuan syara’.[8]
Sementara itu asy-Syaukani dalam Irsyadul-Fuhul menjernihkan
pendapat ulama Maturidiyah, dengan mengatakan: “Bahwa pembahasan dalam hal ini
cukup panjang (luas). Adapun mengingkari
kemampuan akal dapat menilai suatu perbuatan itu tergolong baik atau
buruk, adalah suatu kesombongan dan kebohongan. Sedang orang yang mengakui
kemampuan akal yang menilai bahwa perbuatan yang baik itu mendapatkan pahala
dan perbuatan yang buruk itu mendapatkan siksa dia bukanlah seorang muslim.
Kemampuan final yang dimiliki oleh akal hanya terbatas menilai bahwa yang baik
itu akan mendatangkan pujian bagi perbuatan orang yang melakukannya, dan
sebaliknya bahwa perbuatan yang buruk itu akan mendatangkan cercaan bagi
pelakunya. Jadi tidak sampai pada kesimpulan bahwa perbuatan- perbuatan itu ada
hubungannya dengan keharusan memperoleh pahala dan siksa.” (Irsyadul Fuhul,
hal. 8)
c. Golongan
Asy’ariyah
Pendapat golongan Asy-‘ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama
ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara
esensial) tidak ada yang baik maupun
yang buruk. Semuanya mutlak
tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allah dalam aturan syara’. Tidak ada
sesuatu pun yang membatasi kehendak-Nya. Dia adalah Pencipta sesuatu dan Dia
pula yang menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu segala yang Dia
perintahkan itulah yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang
buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya
berdasar pada perintah larangan Syari’ (Allah) semata. Tiada pahala dan siksa
melainkan dikaitkan dengan kepatuhan atau pelanggaran aturan Syari’. Dan tak
ada perhitungan karena perintah akal, tetapi semua yang diperhitungkan hanyalah
berupa perintah dan larangan Syari’ yang Maha Bijaksana.
Pendapat kaum Asy’ariyah ini berbeda dengan pendapat kaum
Mu’tazilah dan Maturidiyah. Mereka menetapkan bahwa sesungguhnya tak ada
sesuatu pun yang baik menurut dzatnya atau yang buruk menurut dzatnya, dan juga
tak ada taklif (pembebanan hukum) kecuali dari Syari’ (Allah) semata.[9]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha
berpendapat bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak dapat
memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan
dzaty serta yang qabih dzaty.
3. Fungsi
Akal Dalam Penetapan Hukum
Akal sangat besar peranannya sebagai alat untuk menggali
dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi pengarahan dan dorongan
kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir, dan jika sampai ke suatu daerah
(masalah) yang berada di luar jangkauan kemampuan akal maka wahyu membantu memberi
tahukannya kepada akal.[10]
Hal yang harus
diperhatikan mengenai fungsi akal dalam penetapan hukum, yaitu:[11]
1) Bila
telah ditetapkan, bahwa akal menurut Jumhur Fuqaha tidak punya wewenang
mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan- pembebanan huhkum
(at-taklifat), tidaklah berarti bahwa akal tidak ada fungsinya. Bahkan akal
sangat berfungsi, hanya saja batas kemampuan fungsionalnya sesuai dengan yang
diberikan oleh Allah SWT.
Sementara itu harus
dicarikan pula hukum- hukum Allah pada setiap kasus baru yang keterangan
hukumnya tidak ada dalam nash yang jelas (sharih). Maka pada saat itulah akal
dapat difungsikan untuk menggali nash- nash syara’, dan untuk menjelaskan
kaidah- kaidah umum syar’i yang dapat menjadi pedoman dalam menganalogikan dan
menerapkan prinsip hukum terhadap kasus- kasus baru yang dijumpai.
2) Hal
lain yang perlu diingat ialah bahwa sumber- sumber hukum itu Mazhab
as-Shahaby, al-Istihsan, al-Mashlahah waz-Dzara’i, dan seterusnya semuanya merujuk kepada satu
sumber hukum yaitu nash- nash Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu Syafi’i
dengan tegas menyatakan: “Hukum tidak digali melainkan dari nash atau yang
terkandung dalam nash.”
Atas dasar itulah dapat
ditetapkan bahwa semua sumber hukum itu merujuk kepada nash. Bahkan di antara
para penyusun Ushul Fiqh ada yang mengembalikan semua sumber- sumber hukum itu
kepada Al-Qur’an, dan semua sumber ini dianggap bermuara dam kembali kepadanya.
Adapun Sunnah merupakan keterangan Al-Qur’an dan sebagai penjelas terhadap
kemujmalannya.
IV.
KESIMPULAN
Al-Hakim ialah pembuat serta yang
menetapkan hukum. Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang
menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an
maupun wahyu dalam bentuk sunnah.
Pendapat beberapa golongan mangenai tahsin ‘aqly wa taqbih
‘aqly:
a. Golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan manusia selalu diwarnai baik atau
buruk, bermanfaat atau mudarat. Apabila seseorang mengerjakan kebaikan atau
kejahatan (menurut pertimbangan akalnya) tentu akan diberi ganjaran pahala atau
dosa.
b. Golongan
Maturdiyah , tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan keputusan
akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan siksa itu berdasar
dari ketentuan nash.
c. Golongan
As’ariyah, al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak dapat
memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan
dzaty serta yang qabih dzaty.
Fungsi akal dalam
penetapan hukum: Akal sangat besar peranannya sebagai alat untuk menggali dan
mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi pengarahan dan dorongan kepada
akal supaya senantiasa aktif berfikir.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah
yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
Dan semoga apa yang telah kita diskusikan menambah rasa syukur serta menambah
iman kita kepada Allah SWT. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan guna memperbaiki makalah ini dan makalah- makalah kami
selanjutnya.
Terima kasih,
DAFTAR
PUSTAKA
Zah Zah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
Daly, Peunoh. 1987. Filsafat Hukum Islam.
Jakarta.
[1] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 87
[2] Totok
Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76
[5]
Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 89
[6]
Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 90
[7] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 91
[8] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 92
[9] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 93
[10] Peunoh Daly, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: 1987),
hlm. 106
[11] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 94